30 December 2007

REDD, Benarkah Kapitalisasi Sumber Daya Hutan?

Pada tanggal 3-14 Desember 2007 di nusa dua, bali diadakan acara United Nation Climate Change Conference (UNCCC). Salah satu pembahasannya adalah tentang kesepakatan pelaksanaan program REDD yang bertujuan untuk mengatasi masalah global warming.

Program Reducing Emission from Deforestation in Developing Country atau REDD merupakan metode penghitungan kompensasi pengurangan emisi yang dapat diimplementasikan pada konservasi hutan. REDD telah mulai dibahas sejak 2005 dalam pertemuan para pihak (Conference on Parties/CoP) ke-11 di Montreal, Kanada dan agenda ini sudah diamanatkan konferensi sebelumnya di Nairobi, Kenya, November 2006.

Menurut Ari Muhammad dari World Wildlife Fund (WWF) pada kegiatan Media Workshop on Climate Change yang diselenggarakan United Nation Information Center (UNIC), REDD lebih memungkinkan bagi Indonesia untuk memperoleh insentif dari negara-negara maju yang menghasilkan karbon dioksida dan diserap oleh hutan-hutan yang ada di negara berkembang. Salah satu alasan Indonesia dalam memperjuangkan program REDD adalah kegagalan pelaksanaan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) sesuai Protokol Kyoto. Kegagalan pelaksanaan CDM diakibatkan oleh kesulitan dalam memenuhi prasyarat-prasyaratnya. Di sektor kehutanan, insentif CDM akan diberikan pada lokasi yang akan dihutankan setelah mengalami kerusakan lebih dari 50 tahun, atau hutan yang sudah rusak sebelum tahun 1990.

REDD semula terkait dengan proposal Papua Niugini-Kosta Rika dan Brasil. Proposal Papua Niugini-Kosta Rika menghendaki supaya ada insentif bagi negara yang melakukan konservasi hutan, sedangkan Brasil menghendaki supaya setiap negara yang mampu menahan laju deforestasi perlu mendapatkan kompensasi.

Upaya untuk menghentikan laju kerusakan hutan tengah didebatkan dalam UNCC di bawah skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation. REDD menawarkan insentif kepada pelaku bisnis di negara-negara yang termasuk dalam Annex 1 untuk membiayai pengurangan laju deforestasi di hutan tropis untuk menyerap karbon. REDD berasumsi bahwa emisi dari proses deforestasi dan emisi CO2 di masa mendatang dapat diukur dan diserap, disebut pasar karbon, dan pembeli dapat mengganti komitmentnya untuk menurunkan emisi CO2nya melalui skema ini, sebagai cara yang paling jitu.

Bagaimanapun, ada begitu banyak pertanyaan tentang REDD dan apakah hal tersebut merupakan pilihan yang adil untuk menyelamatkan lingkungan, dan apakah jual beli karbon adalah cara terbaik untuk menurunkan deforestasi. Di sini terlihat bahwa investasi terhadap hutan karbon akan digunakan oleh perusahaan-perusahaan dan pemerintahan negara-negara yang tergabung dalam Annex 1 untuk menghilangkan komitment penurunan emisi mereka.

Salah satu pihak yang memberi perhatian terhadap penerapan REDD adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Perhatian utama WALHI/FoE Indonesia terhadap REDD, yang diusulkan oleh Pemerintah Indonesia (REDD-I) adalah Pertama, REDD-I mengusulkan bahwa negara pemilik hutan tropis mendapatkan pendanaan dengan melindungi hutan. Kedua, dalam konteks Indonesia, REDD-I adalah peluang untuk mensubsidi sektor swasta dan perusahaan yang telah dan akan bertanggung jawab terhadap perusakan hutan lebih lanjut. Ketiga, REDD akan menjadi alat konsolidasi bagi perusahaan-perusahaan perkebunan dan kehutanan, yang telah menguasai puluhan juta hektar hutan dan lahan di Indonesia. Keempat, REDD-I menggampangkan fungsi ekosistem hutan hanya sebagai penyimpan karbon.

Persiapan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan REDD adalah dengan melakukan studi yang menunjukkan kemampuan serap hutan terhadap karbon penyebab emisi gas rumah kaca. Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Rachmat Witoelar saat jumpa pers pertama sebagai presiden Conference of Party (COP) ke-13, hasil studi yang dilakukan di Bogor, Kalimantan, Kediri, dan Riau itu menunjukkan bahwa Per hektare hutan mampu menyerap 50 ton metrik karbon. Kabalitbang Dephut Wahjudi Wardoyo menjelaskan bahwa REDD akan diterapkan untuk 5 jenis hutan, yaitu hutan konservasi, hutan alam produksi, hutan tanaman industri (HTI), lahan gambut dan hutan konversi kelapa sawit. Namun, hutan produksi, HTI dan kelapa sawit tetap bisa dimanfaatkan.

Ada beberapa pihak yang kontra dengan penerapan program REDD, salah satunya adalah Anand Krishna, tokoh spiritualis yang juga salah satu delegasi Indonesia untuk UNCCC Bali. Sejalan dengan pemikiran Anand Krishna, ada yang patut dikritisi dalam program ini. Hal yang paling patut digarisbawahi adalah, kesan kapitalisasi sumber daya hutan yang dimiliki negara seperti Indonesia. Program REDD ini memberikan kesan bahwa hutan yang ada boleh dibeli dengan uang, jadi selama mampu memberikan kompensasi (saat ini harga karbon adalah 10 dollar AS per ton) sebuah negara boleh “menyampah” di dunia ini. Selain itu, REDD hanya urusan dagang yang hanya menguntungkan segelintir orang seperti pedagang karbon, konsultan, perusahaan, hingga broker, dan bukan rakyat dan masyarakat adat.

Semoga pernyataan Ketua Delegasi Indonesia Emil Salim dalam acara UNCCC dapat menjadi kenyataan. Dia menyebut adanya kesalahpahaman bahwa REDD adalah perdagangan karbon dan merugikan saja. Padahal prinsipnya adalah karena negara maju sudah menjadi pelaku polusi selama seratusan tahun, maka mereka wajib bertanggung jawab atas emisinya. Menurut Emil, mereka harus membayar kompensasi kepada negara-negara berkembang yang sekarang paling rentan menjadi korban perubahan iklim karena kemiskinannya sekaligus harus mengurus hutannya sebagai penyelamat bumi. Membeli karbon negara-negara berkembang tidak berarti negara-negara maju bebas untuk mempolusi bumi dan bebas dari kewajiban mengurangi emisi.

Kita pun perlu memperhatikan pemikiran dari WALHI yang menyatakan bahwa menjual hutan untuk karbon tidak akan membantu sama sekali terhadap perubahan yang dibutuhkan tersebut, dan bahkan akan semakin memperkuat pemain-pemain di sektor kehutanan dan perkebunan untuk lebih jauh mendukung praktik perusakan hutan di Indonesia, menambah masalah yang ada. Pemerintah pun perlu menetapkan aturan untuk melakukan jeda tebang dan konversi sebagai langkah awal untuk menyelesaikan krisis dalam pengelolaan hutan alam Indonesia. Krisis tersebut muncul dari kegagalan Pemerintah Indonesia untuk menghormati hak masyarakat dalam pengelolaan hutan, korupsi yang endemik dan besarnya kapasitas industri kayu. Memasukkan hutan Indonesia ke dalam pasar karbon akan semakin mengacaukan situasi dan tidak akan meningkatkan perlindungan terhadap hutan alam Indonesia.

Hutan dan segala hal yang ada di bumi ini bukanlah milik suatu negara, bukan pula milik kita bersama. Semua yang ada di dunia ini sejatinya adalah milik Sang Pencipta yang dititipkan untuk dimanfaatkan kepada umat manusia.
=========
dipublish pertama kali di BURAM edisi eksklusif yang terbit tanggal 8 Desember 2007
buram dapat di download di http://d4j4l.uni.cc/buram

1 comments:

Post a Comment