16 July 2006

Mempertahankan Budaya, Perlukah?

Ketika menyikapi sebuah perubahan, ada tiga kelompok yang terbentuk. Kelompok itu adalah kelompok pendukung, kelompok penolak dan kelompok yang tidak bersikap. Ketiganya adalah kelompok yang akan terbentuk secara otomatis, maka tak akan ada kemungkinan untuk meniadakan kemunculan salah satu dari kelompok-kelompok tersebut, sebab hal tersebut sangat terkait dengan pola pikir seorang manusia.

Terkait dengan masalah perubahan kebudayaan, kehadiran ketiga kelompok tersebut pun tak dapat dihindari. Hal tersebut disebabkan karena ada kepentingan-kepentingan yang di belakangnya. Perubahan kebudayaan bisa jadi membawa kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Kehadiran yang menolak perubahan kebudayaan pun bisa jadi memiliki kepentingannya sendiri yang menyebabkan mereka menolak perubahan kebudayaan. Begitu pula dengan kelompok yang tidak peduli dengan ada atau tidaknya perubahan pada kebudayaan. Semuanya memiliki kepentingannya sendiri. Jika kita melihat

Indonesia, sebagai sebuah negara dengan beragam kebudayaan dan beragam kepentingan di dalamnya, maka kita akan melihat komunitas-komunitas yang dengan gigih mempertahankan eksistensi kebudayaannya masing-masing. Entah itu kebudayaan dalam bentuk adat istiadat, maupun pola pewarisan kebudayaan. Ada satu hal yang menarik di sini jika kita mengaitkan keinginan untuk mempertahankan eksistensi sebuah kebudayaan dengan keinginan untuk merubah kebudayaan yang –katanya– ingin memanusiakan manusia. Ada banyak pihak yang menginginkan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) agar segera disahkan mejadi Undang-Undang dengan tujuan menjadikan manusia agar lebih beradab. Di sisi lain kita akan menemukan orang-orang yang menentang RUU APP untuk dijadikan sebagai suatu Undang-Undang dengan salah satu alasannya, dapat menghilangkan eksistensi kebudayaan asli Indonesia, yang artinya tidak menghormati warisan para pendiri suku-suku di Indonesia yang telah dilestarikan turun-temurun.

Terlepas dari sikap setuju atau tidak (atau juga tidak peduli) dengan perubahan RUU APP menjadi sebuah Undang-Undang, sebaiknya kita melihat urgensitas dari perlu tidaknya mempertahankan budaya yang telah ada sejak dahulu. Apakah semua bentuk kebudayaan harus kita pertahankan? Apakah sebuah suku akan kehilangan jati dirinya jika salah satu bentuk kebudayaannya dirubah? Bukankah kebudayaan adalah usaha manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya? Lalu mengapa kita menolak kehadiran budaya baru yang menggantikan kebudayaan lama, jika kebudayaan tersebut lebih baik dan lebih memanusiakan manusia? Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menulis dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi “Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri”.

2 comments:

Post a Comment